RENUNGAN USAI MENUNAIKAN HAJI [2]
Suatu fenomena telah terjadi di kalangan jamaah haji khususnya
dari negara kita, ketika telah selesai bertahalul maka ada sedikit
perubahan dalam panggilan nama mereka yakni penambahan gelar Haji di
depannya dan Hajjah bagi para wanita. Demikian pula setelah kepulangan
mereka ke tanah air gelar kehormatan tersebut masih terus melekat dengan
namanya, sehingga rasanya tidak afdhal jika kita memanggilnya tanpa
mendahului dengan gelar itu.
Hal ini dikarenakan
mulianya perjalanan ibadah tersebut yang merupakan paripurnanya rukun
Islam yang lima, di samping memang membutuhkan pengorbanan yang besar
baik tenaga, biaya maupun waktu sehingga tidak semua orang Islam mampu
menunaikannya. Panggilan itu boleh jadi adalah sebagai penghormatan
karena telah sukses melakukan acara ritual yang agung, atau mungkin juga
bermula dari panggilan yang biasa digunakan oleh penduduk asli Arab
ketika memanggil jamaah haji dengan “Ya Hajj” karena memang tidak tahu
siapa namanya.
Bagi mereka yang memiliki latar belakang
ilmu syar’i insya Allah gelar atau panggilan haji tersebut bukanlah
masalah besar yang harus dipersoalkan. Artinya dia tidak akan peduli
apakah orang lain nantinya akan memanggilnya dengan pak haji, bu haji
atau tetap sebagaimana panggilan semula sebelum ia menjalankan ibadah
haji, toh tujuan dan niatnya adalah semata-mata beribadah menuju
keridhaan Allah. Dan memang demikianlah hendaknya setiap jamaah haji
berniat dalam perjalanan hajinya, sebab jika niatnya lain, misalnya agar
disebut sebagai bapak atau ibu haji maka ia tidak akan memperoleh
apa-apa kecuali gelar dan panggilan tersebut, sedang di sisi Allah ia
tak memperoleh bagian apa-apa. Hal ini dikarenakan Allah tidak akan
menerima amalan kecuali yang dilakukan secara ikhlash semata-mata
karenaNya di samping dilakukan menurut tuntunan yang disyari’atkan Allah
dan diajarkan oleh NabiNya shallallahu 'alaihi wasallam. Firman Allah Subhanahu Wata'ala, artinya, “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain, khusus berkenaan dengan haji beliau shallallahu 'alaihi wasallambersabda, “Hendaklah kalian mengambil dariku manasik (cara-cara) kalian dalam berhaji.” (HR. Muslim)
Namun
jika kita berbicara soal realita, maka teori di atas tidak sepenuhnya
terpraktekkan, sebab tidak semua orang faham dan mengetahui apa tujuan
haji yang sebenarnya. Bahkan orang yang sudah tahupun terkadang masih
terkalahkan oleh hawa nafsunya sehingga ketika ada orang lain menyebut
namanya tanpa menambahkan gelar haji di depannya, maka dadanya agak
terasa sempit dan telinga sedikit merah karena kurang suka, lebih-lebih
jika itu di depan khalayak ramai. Bahkan di antara mereka ada yang
ketika dipanggil namanya tidak menjawab sebagaimana mestinya tapi malah
berujar, “Saya sudah dua kali pergi haji lho!” Yakni menghendaki agar
orang lain memanggilnya dengan gelar haji.
Dalam kasus
ini perlu digaris bawahi bahwa kita bukannya bermaksud melarang orang
menghormati orang lain dengan memberi gelar haji. Yang perlu diluruskan
adalah bahwa perjalanan haji adalah perjalanan ibadah untuk menuju
Allah Subhanahu Wata'ala dan mengharap keridhaanNya, bukan
untuk mendapatkan embel-embel tersebut. Adapun setelah itu ada orang
yang memanggil dengan bapak atau ibu haji, maka itu adalah persoalan
lain dan bukan tujuan, hanya saja jika kebiasaan tersebut tidak
dibudayakan bisa jadi itu akan memperbaiki niat orang yang akan
melakukan rukun Islam kelima ini.
Makna haji yang sebenarnya
Al-Allamah
Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rahman Al Bukhari Al Hanafi menjelaskan
bahwa haji (al hajj) maknanya adalah bermaksud atau menuju (al qashdu).
Niat dan maksud adalah pekerjaan yang paling utama sebab ia hanya
dilakukan oleh anggota badan termulia yaitu hati. Karena ibadah haji ini
merupakan ibadah yang besar dan sangat utama, juga memuat ketaatan yang
sangat berat, maka disebutlah ia al hajj yang berarti al-Qashdu
(dinisbatkan kepada amalan hati karena keutamaannya, red). Dan mengenai
pentingnya niat dalam haji dan umrah Allah Subhanahu Wata'ala telah berfirman, artinya,“Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah.” (QS. al-Baqarah: 196).
Oleh
karena itu seseorang yang akan pergi haji meskipun pergi menuju
baitullah (ka’bah) namun sebenarnya yang jadi tujuan adalah Rabbul
Ka’bah Allah Rabb seru sekalian alam. Maka ketika seorang haji tiba di
Ka’bah, dan sebelumnya ia tahu bahwa pemilik rumah tersebut tidak ada di
sana, berputar-putarlah ia mengelilingi rumah itu yakni thawaf, dan ini
merupakan isyarat bahwa ka’bah bukanlah maksud dan tujuan namun Allah Subhanahu Wata'ala pemilik Ka’bahlah tujuannya.
Begitu
pula ketika mencium hajar aswad bukanlah bertujuan untuk menyembah
batu, tapi semata-mata karena mengikuti sunnah Rasul. Dan inilah yang
membedakan antara seorang muslim dan musyrik. Dulu kaum musyrikin
menciumnya karena benar-benar menyembahnya, sedang seorang muslim
melakukan itu adalah karena mengikuti sunnah.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu mengibaratkan
bahwa mencium hajar aswad seolah-olah ia menjabat atau mencium tangan
kanan Allah, sehingga ketika seorang haji menyentuhnya hendaknya
tertanam dalam benak bahwa ia sedang berbai’at kepada Allah Subhanahu Wata'ala,
pencipta dan pemilik hajar aswad yang telah memerintahkan untuk
melakukan itu. Berbai’at disini maknanya berjanji untuk selalu taat dan
tunduk kepada Allah Subhanahu Wata'ala, kemudian selalu ingat bahwa jika mengkhianati bai’at tersebut akan berhadapan dengan murkaNya.
Dari
sini para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji
adalah bertaubat, memperbaiki ketakwaan dan inilah sebaik-baik bekal.
Allah Subhanahu Wata'ala telah berfirman, artinya, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS.
al-Baqarah: 197). Dan tak mungkin seseorang akan membawa bekal takwa
ini jika tidak bertaubat dan meninggalkan segala jenis kemaksiatan.
Jika
orang yang berhaji telah memahami apa makna dan tujuannya dalam
berhaji, maka ketika melantunkan talbiyah akan meresap dalam jiwa bahwa
seolah-olah ia sedang meninggalkan segala atribut keduniaan dan menuju
Allah seraya mengatakan, “Ya Allah aku datang, aku datang memenuhi
panggilanMu, aku berdiri di pintuMu, aku singgah di sisiMu. Aku pegang
erat kitabMu, aku junjung tinggi aturanMu, maka selamatkan aku dari
adzabMu, kini aku siap menghamba kepadaMu, merendahkan diri dan
berkiblat kepadaMu. MilikMu segala ciptaan, bagimu segala aturan dan
perundang-undangan, bagiMu seluruh hukum dan hukuman, tiada sekutu
bagiMu. Tak peduli aku berpisah dengan sanak keluarga, ku tinggalkan
profesi dan pekerjaan, kulepas segala atribut dan jabatan karena
tujuanku hanyalah wajah dan keridhaanMu, bukan dunia yang fana bukan
nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu. “
Setelah Para Haji Pulang
Banyak
oleh-oleh yang dibawa pulang oleh para jama’ah haji, namun ada satu
oleh-oleh yang sangat besar dan berharga, dan hanya bisa disimpan dalam
hati dan dada. Oleh-oleh yang tak akan habis jika dibagi-bagikan kepada
orang lain bahkan malah kian bertambah dan semua orang pasti suka untuk
menerimanya. Tak lain adalah kebersihan jiwa dan akhlak. Inilah barang
termahal yang selayaknya dibawa pulang oleh mereka yang menunaikan haji.
Alangkah indahnya jika sepulang haji yang kikir menjadi dermawan,
penjahat menjadi penebar salam, bandar judi menjadi ketua majlis ta’lim,
dan ribuan bahkan jutaan orang merubah jalan hidupnya bersama-sama satu
tujuan menuju Allah Subhanahu Wata'ala. Tak ada lagi pejabat penerima sogok, hakim berat sebelah, pengusaha ataupun pedagang licik, curang dan lain-lain.
Apalah
artinya pergi haji jika hanya sekedar untuk menambah gelar namun yang
korup tetap korup, yang lintah darat tetap lintah darat, yang bakhil
malah makin menjadi-jadi. Padahal perbuatan jahat dan fasik itu harus
ditinggalkan kapan saja bukan hanya ketika melakukan haji. Jika
seseorang masih sama buruk dan jahatnya antara sebelum dan sesudah haji
bahkan malah lebih parah, maka suatu pertanda bahwa kepergiannya ke
tanah suci hanyalah sia-sia sebab ia tak mampu mengambil sesuatu yang
paling berharga dari perjalanan tersebut.
Sebagai
khatimah hendaknya setiap orang yang akan melakukan ibadah haji sadar
dan mengetahui bahwa perjalanan yang akan ia tempuh adalah perjalanan
ibadah yang agung dan mulia sehingga harta yang digunakan untuk itu
adalah dari penghasilan yang baik dan halal. Di samping itu ia harus
mempelajari tata cara manasik yang benar, sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dengan demikian diharapkan haji yang ia lakukan akan menjadi haji yang mabrur yang diterima di sisi Allah Subhanahu Wata'ala bukannya maghrur (tertipu) atau mabur (bahasa Jawa) yang hanya sekedar terbang naik pesawat saja.
Janganlah
sekali-kali kita punya niat hanya agar mendapat gelar pak haji dan bu
haji saja, lalu bangga jika orang memanggil dengan sebutan itu,
sekali-kali jangan. Kalau seandainya orang satu kampung tidak ada yang
memanggil kita dengan gelar itu, maka sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala Maha Tahu bahwa kita telah menunaikannya dan akan memberi balasan sesuai dengan niat dan usaha kita. Wallahu a’lam. Abu Ahmad
Sumber : Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, Yayasan Al-Sofwa, Fikih Nasehat, Fariq Gassim Anuz, Pustakan Azam, sumber-sumber lain.
0 komentar:
Posting Komentar